HUKUM ACARA PIDANA ( Analisis KELEBIHAN DAN KELEMAHAN SISTEM PEMBUKTIAN NEGATIF atau Negative Wettelijk Theorie)

HUKUM ACARA PIDANA
( Analisis KELEBIHAN DAN KELEMAHAN
SISTEM PEMBUKTIAN NEGATIF atau Negative Wettelijk Theorie)
Disusun Guna Memenuhi Nilai Uji kompetensi dasar III

Disusun oleh :
Kharisma Ratuprima Semadaria (E0008052)
Yanita Suci Asmarani (E0008258)
Bayu Satria Setiadi (E0008307)
Bhirawa Dwi Saputra Fitriansyah (E0008308)
Tito Erlangga (E0008442)
HUKUM ACARA PIDANA KELAS B

Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan adalah merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal ini pun HAM (hak asasi manusia) dipertaruhkan, bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar, untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang hakiki atau yang sebenar-benarnya, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal, atau kebenaran yang terungkap di muka siding saja. Mencari kebenaran materiil merupakan sesuatu yang tidaklah mudah. Alat-alat bukti yang tersedia menurut undang-undang sangat relatif. Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relatif, kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa akan berbeda-beda. Pembuktian menempati titik sentral dalam hukum acara pidana. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan menempatkan kebenaran materiil dan bukanlah untuk mencari kesalahan orang lain.
Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutuskan perkara. Dalam hal ini yang harus dibuktikan ialah kejadian konkret, dengan adanya pembuktian itu, maka hakim meskipun ia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang sebenarnya terjadi, sehingga memperoleh keyakinan tentang hal tersebut.

Adapun jenis- jenis sistem pembuktian menurut KUHP adalah:
1. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif ( Positif Wettwlijks theorie ).
Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal bebarapa sistem atau teori pembuktian. Pembuktian yang didasarkan selalu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif.
Dalam teori ini undang-undang menentukan alat bukti yang dipakai oleh hakim cara bagaimana hakim dapat mempergunakannya, asal alat-alat bukti itu telah di pakai secara yang ditentukan oleh undang-undang, maka hakim harus dan berwenang untuk menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara yang diperiksanya. Walaupun barangkali hakim sendiri belum begitu yakin atas kebenaran putusannya itu.
Sebaliknya bila tidak dipenuhi persyaratan tentang cara-cara mempergunakan alat-alat bukti itu sebagimana ditetapkan undang-undang bahwa putusan itu harus berbunyi tentang sesuatu yang tidak dapat dibuktikan tersebut. Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, dan teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi karena teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-undang
2. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu.
Didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan.
Bertolak pengkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yag didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.
3. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis ( Laconvivtion Raisonnee ).
Sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu ( la conviction raisonnee ). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
Teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (Vrije bewijs theorie ).atau yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Pertama, yang disebut diatas, yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis ( conviction raisonnee ) dan yang kedua, ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negative ( negatief bewijs theorie ).
Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin di pidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah
4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif ( negative wettelijk ).
Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu.
Dalam pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : “ hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Atas dasar ketentuan pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negative. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang ( minimal dua alat bukti ) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.
Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk, istilah ini berarti : wettelijk, berdasarkan undang-undang sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.
Dalam sistem pembuktian yang negative alat-alat bukti limitatief di tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang.
Bedasarkan latar belakang di atas, maka dari itu kami penulis tertarik untuk membahas salah satu sistem pembuktian yang ada yaitu negatief wettelijk.

BAB II
RUMUSAN MASALAH

1. Apakah kelebihan dan kekurangan sistem pembuktian negative ( negatief wettelijk) ?
2. Solusi apa yang dapat digunakan untuk menutupi kelemahan dari sistem pembuktian negative atau negative wettelijk ?

BAB III
PEMBAHASAN

Dalam system menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan system undang-undang secara negative-sebagai intinya yang dirumuskan dalam pasal 183, dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jiak memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana
b. Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana

1. Kelebihan dan kekurangan sistem pembuktian negative ( negatief wettelijk )
Dalam sistem pembuktian negative ( negatief wettelijk ) dalam hal membutikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini harus berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Sehingga dalam pembuktian benar-benar mencari kebenaran yang hakiki, jadi sangat sedikit kemungkinan terjadinya salah putusan atau penerapan hukum yang digunakan.
Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Sehingga akan memperlambat waktu dalam membuktikan bahkan memutuskan suatu perkara, karena dilain pihak pembuktian harus melalui penelitian. Tetapi dengan mencari kebenaran melalui penelitian tersebut, maka kebenaran yang terungkap benar-benar dapat dipertanggung jawabkan, dan merupakan kebenaran yang hakiki.
Dalam pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : “ hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Atas dasar ketentuan pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negative. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang ( minimal dua alat bukti ) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Dapat diartikan bahwa di dalam sistem pembuktian negatif ini hakim benar-benar berhati-hati dalam memutuskan suatu perkara. Sehingga memperkecil kemungkinan terjadi kesalahan dalam mengambil keputusan.
Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk, istilah ini berarti : wettelijk, berdasarkan undang-undang sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Disini peran hakim juga menetukan, padahal hakim juga sesama manusia yang mempunyai rasa subjektifitas yang tidak dapat di nafikkan adanya. Sangat disayangkan apabila hakim menjatuhkan putusan yang sangat subjektif yang dapat merugikan kepentingan orang lain.
Dalam sistem pembuktian yang negative alat-alat bukti limitatief di tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang.
Perpaduan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian keyakinan hakim belaka. Negatief wettelijk stelsel: “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut UU”.
Kemudian, terdapat beberapa doktrin, yaitu diantaranya Martiman Prodjohamidjojo wettelijk, sesuai dgn alat-alat bukti yang sah yang ditetapkan oleh undang; negatief, oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang saja belum cukup untuk membuat hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim.
Mr. Kwee Oen Goan berpendapat bahwa Hakim harus memakai alat-alat bukti yang sah, ditentukan oleh UU. Apabila Hakim tidak jakin tentang kesalahan terdakwa, maka ia tidak wajib menjatuhkan hukuman.
2. Solusi yang dapat kami ajukan untuk menutupi atau bahkan menghilangkan kelemahan dari sistem pembuktian negatif
Menambahkan pasal di dalam KUHP seperti yang telah dilakukan di dalam UU no 1 Tahun 1965 tentang penodaan agama, dengan ketentuan menghilangkan kemungkinan subjektifitas hakim yang timbul dari kewenangan yang telah diberikan, supaya, hakim lebih mempunyai pedoman yang kuat dalam menentukan alat bukti dan memutuskan suatu perkara, karena selama ini hanya berdasarkan pada UU saja.
Memperjelas dengan memberikan point-point yang jelas di dalam KUHP mengenai alat bukti yang boleh digunakan dan diajukan di dalam persidangan.
Mempertahankan kelebihan-kelebihan yang sudah ada di dalam sistem pembuktian negative atau ( negative wettelijk theorie ) untuk menjamin kejelasan hukum. Supaya masyarakat mendapat perlindungan hokum yang lebih nyata sebagai bentuk perhatian pemerintah teradap masyarakat dan atau warga Negara nya.
Ditentukan dengan jelas batasan mengenai waktu perkara tersebut dapat diproses. Yang dapat ditentukan dengan limitasi KUHP.

BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai pembuktian ini dapat disimpulkan bahwa pembuktian merupakan bagian yang sentral pada hukum acara pidana dimana melalui pembuktian ini akan diketahui keputusan apa yang akan diambil oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara. Dan dalam hal pembuktian terdapat beberapa teori yang di pakai seperti yang telah di jelaskan di atas.
Dan kami penulis pun akhirnya menetapkan untuk menulis makalah mengenai pembahasan sistem pembuktian negatif atau negatief bewijs theorie.
Dan setelah membahas mengenai kelebihan dan kelemahan sistem pembuktian negatif tersebut diatas maka kami penulis mengusulkan untuk menambahkan pasal di dalam KUHP yang sudah pernah terjadi penerapannya pada UU no 1 tahun 1965 tentang Ketentuan Penodaan Agama. Yang karena dipandang mempunyai kelemahan kami berani mengusulkan pendapat tersebut demi terciptanya hukum yang baik di Negara kita tercinta ini, Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : P.T. Alumni

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.

Hamzah, Andi. 2008. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Pettanase, Syarifudim. 2000. Hukum Acara Pidana, Indramayu : Universitas Sriwijaya.

http://www.google.com

Published in: on Juni 17, 2010 at 05:09  Comments (4)  

HUKUM ACARA PERDATA DUA SURAT GUGATAN

HUKUM ACARA PERDATA
DUA SURAT GUGATAN

O l e h ;

KHARISMA RATUPRIMA SEMADARIA
( E 0008052 )

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
SURAT GUGATAN

KASUS POSISI

Pada tanggal 6 April 2005, ZEIN PATRADINATA yang beralamat di Jl. Durian 13 Perum Indah Raya 7 Rt. 02 / Rw. 11 Kelurahan Karangasem, Kecamatan Colomadu, Surakarta meminjam uang kepada RAIZA HANUM yang beralamat di Jl. Mawar 18 Rt. 04 / Rw. 9 Fajar Indah Surakarta sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), dan RAIZA HANUM berjanji akan membayar selambat-lambatnya pada tanggal 1 September 2005. Namun sampai batas waktu yang telah disepakati, RAIZA HANUM ternyata belum mengembalikannya, dan atas kelalaian itu, ZEIN PATRADINATA telah melakukan teguran-teguran secara lisan terhadap RAIZA HANUM Tetapi, yang bersangkutan tidak mengindahkannya, dan atas dasar-dasar tersebut maka ZEIN PATRADINATA didampingi kuasa hukumnya KHARISMA RATUPRIMA SEMADARIA, S.H., mengajukan gugatan terhadap RAIZA HANUM ke Pengadilan Negeri Surakarta.

Hal : Gugatan Wanprestasi Surakarta, 24Januari2006

Kepada
Yth. Ketua Pengadilan Negeri
Surakarta
Di
SURAKARTA

Dengan Hormat,
Ijinkanlah yang bertanda tangan dibawah ini, saya :
KHARISMA RATUPRIMA SEMADARIA, S.H.
Advokat / Konsultan Hukum yang beralamat Kantor di Perum Jaya Abadi Gang 6 Nomor 3 Rt. 06 / Rw. 13, Jajar Baru, Kecamatan Laweyan, Surakarta.
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal : 7 Januari 2006 ( terlampir ), bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa / Klien kami :
– ZEIN PATRADINATA, pekerjaan wiraswasta, yang beralamat di Jl. Mawar 18 Rt. 04 / Rw. 9 Fajar Indah Surakarta.
Untuk selanjutnya mohon disebut sebagai . . . . . . . . . . . . . . PENGGUGAT.

Dengan ini mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Surakarta, terhadap :
RAIZA HANUM, pekerjaan wiraswasta, yang beralamat di Jl. Durian 13 Perum Indah Raya 7 Rt. 02 / Rw. 11 Kelurahan Karangasem, Kecamatan Colomadu, Surakarta.
Untuk selanjutnya mohon disebut sebagai. . . . . . . . . . . . . . . . TERGUGAT.

Adapun Gugatan ini diajukan dengan dasar-dasar sebagai berikut :
1. Bahwa pada tanggal 6 April 2005, Tergugat telah meminjam uang kepada Penggugat sebesar Rp. 10.000.000, 00 (sepuluh juta rupiah), seperti yang terbukti dari kwitansi tanda penerimaan yang tertanggal 6 April 2005 (vide bukti p-1, fotokopi terlampir)

2. Bahwa dalam kwitansi tersebut diatas, Tergugat telah berjanji untuk membayar kembali kepada Penggugat selambat-lambatnya pada tanggal 1 September 2005.

3. Bahwa ternyata sampai batas waktu yang telah ditentukan diatas, Tergugat tidak mau melakukan kewajibannya untuk membayar lunas atas uang yang telah dipinjamnya dari Penggugat.

4. Bahwa atas kelalaian Tergugat tersebut, oleh Penggugat telah dilakukan teguran-teguran secara lisan terhadapnya, akan tetapi tergugat tidak mengindahkannya.

5. Bahwa atas perbuatan Tergugat yang telah cedera janji tersebut, sudah jelas sekali sangat merugikan Penggugat.

6. Bahwa Penggugat mempunyai sangka yang beralasan terhadap itikad buruk Tergugat untuk mengalihkan, memindahkan, atau mengasingkan harta kekayaannya, baik yang berupa barang-barang bergerak maupun yang tidak bergerak, antara lain berupa sebidang tanah berikut bangunan rumah, yang terletak di di Jl. Durian 13 Perum Indah Raya 7 Rt. 02 / Rw. 11 Kelurahan Karangasem, Kecamatan Colomadu, Surakarta, mohon untuk terlebih dahulu agar Pengadilan Negeri Surakarta berkenan meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap barang-barang milik Tergugat tersebut diatas.

Maka, berdasarkan hal tersebut diatas, kami mohon kepada Yang Terhormat Ketua Pengadilan Negeri Surakarta berkenan memanggil, memeriksa pihak-pihak yang bersangkutan, serta memberikan / menjatuhkan putusan sebagai berikut :

P R I M A I R :
1. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan tersebut diatas.

2. Menghukum Tergugat untuk membayar utangnya sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) kepada Penggugat seketika dan sekaligus.

3. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara ini.

4. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun timbul Verzet, Banding, dan Kasasi.

S U B S I D A I R :

– Dalam peradilan yang baik, mohon keadilan yang seadil-adilnya.

Demikian gugatan yang dapat kami ajukan, semoga dapat terkabulkan dan atas terkabulnya gugatan ini kami ucapkan banyak terima kasih.

Hormat Saya
Kuasa Hukum Penggugat

KHARISMA RATUPRIMA SEMADARIA, S.H.

KASUS POSISI

Di Dusun Gentan RT01 /02 Desa Pule Kecamatan Jatisrono Kab.Wonogiri pernah hidup seorang laki-laki bernama Bapak MADERI , yang pada tahun 2000 telah meninggal dunia, mempunyai seorang istri bernama Ibu SALLIYEM yang pada tahun 2002 telah meninggal dunia pula. Mereka mempunyai dua orang anak bernama MUYATNO. Pasangan MADERI dan SALLIYEM ini mempunyai harta peninggalan berupa sebidang tanah seluas 200 m2, serta bangunan rumah diatasnya dengan batas-batas sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan rumah milik WAHYO, sebelah timur berbatasan dengan rumah PAIMIN, sebelah selatan berbatasan dengan kebun, dan sebelah barat berbatasan dengan Masjid Al Barokah. Sewaktu MADERI dan SALLIYEM masih hidup, menumpang tinggal pasangan suami istri WAHYU dan AMBAR dirumah tersebut. Namun, setelah MADERI dan SALLIYEM meninggal dunia, rumah tersebut dikuasai/dihuni/ditempati oleh pasangan WAHYU dan AMBAR berta anaknya. Hal inilah yang membuat MUYATNO dengan didampingi oleh kuasa hukumnya KHARISMA RATUPRIMA SEMADARIA, S.H. Advokat, mengajukan gugatan ke Pengadilan Negari Wonogiri untuk mendapatkan kembali hak warisnya tersebut.

Hal : Gugatan Warisan Surakarta , 10 November 2008

Kepada
Yth. Ketua Pengadilan Negeri Wonogiri
Di Wonogiri

Dengan Hormat,
Ijinkanlah yang bertanda tangan dibawah ini, saya :
Nama : KHARISMA RATUPRIMA SEMADARIA ,S.H.
Pekerjaan : Advokat / konsultan hukum
Alamat : Jl.Petoran No 6 Kec.Jebres , Surakarta
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal : 20 Oktober 2008 ( terlampir ), bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa / Klien kami :
Nama : MUYATNO
Pekerjaan : PNS Pemda
Alamat : Jl.Ahmad Yani No 24 Kec. Selogiri , Wonogiri
Untuk selanjutnya mohon disebut sebagai . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .PENGGUGAT
Dengan ini mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Wonogiri, terhadap :
1. Nama : WAHYU
Alamat : Gentan RT 01 /02 Desa Pule Kec.Jatisrono,Kab. Wonogiri
Untuk selanjutnya mohon disebut sebagai . . . . . . . . . . . . . . . . . .TERGUGAT 1
2. Nama : AMBAR
Alamat : Gentan RT 01 /02 Desa Pule Kec.Jatisrono,Kab. Wonogiri
Untuk selanjutnya mohon disebut sebagai . . . . . . . . . . . . . . . . .TERGUGAT II

– Selanjutnya Tergugat I dan II diatas, mohon juga disebut . . . . PARA TERGUGAT.

Adapun Gugatan ini diajukan dengan dasar-dasar sebagu berikut :
1) Bahwa di Dusun Gentan RT01 /02 Desa Pule Kecamatan Jatisrono Kab.Wonogiri pernah hidup seorang laki-laki bernama Bapak MADERI , yang pada tahun 2000 telah meninggal dunia, mempunyai seorang istri bernama Ibu SALLIYEM yang pada tahun 2002 telah meninggal dunia pula. Mereka mempunyai seorang anak bernama MUYATNO ( Penggugat ) .
2. Bahwa pada semasa hidup , almarhum suami istri Bapak MADERI dan SALLIYEM, selain meninggalkan seorang anak laki- laki, almarhum juga meninggalkan harta peninggalan/harta warisan berupa sebidang tanah seluas 200 m2 serta bangunan rumah yang ada diatasnya , dengan batas-batas sebagai berikut :
– Sebelah utara : Rumah milik WAHYO.
– Sebelah timur : Rumah PAIMIN
– Sebelah selatan : berbatasan dengan kebun singkong
– Sebelah barat : Masjid Al Barokah
Selanjutnya sebidang tanah dan bangunan rumah diatasnya (posita 2) gugatan diatas, mohon disebut sebagai . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . OBYEK SENGKETA.
3. Bahwa objek sengketa diatas jelas telah sah menjadi hak milik almarhum suami istri Bapak MADERI dan SALLIYEM dengan diperkuat bukti SERTIFIKAT kepemilikan hak milik atas Bumi dan bangunan .
4. Bahwa secara keseluruhan harta peninggalan / harta warisan almarhum Bapak MADERI dan SALLIYEM seperti yang terurai diatas, hingga saat ini masih utuh dan belum pernah dibagi waris kepada semua ahli waris yang berhak.
5. Bahwa sewaktu almarhum Bapak MADERI dan SALLIYEM masih hidup, para Tergugat menumpang untuk tinggal dirumah dan tanah obyek sengketa tersebut bersama dengan almarhum Bapak MADERI dan SALLIYEM
Namun setelah Bapak MADERI dan SALLIYEM. meninggal dunia, obyek sengketa tersebut hingga kini masih tetap dikuasai/dihuni/ditempati oleh Para Tergugat serta anaknya dengan tanpa dasar dan alas hak yang sah menurut hukum, walaupun telah berulang kali diminta oleh Penggugat sebagai ahli waris Bapak MADERI dan SALLIYEM tetapi Para Tergugat tetap tidak mau menyerahkan kepada Penggugat, malah Para Tergugat mengatakan Penggugat tidak berhak atas harta peninggalan tersebut. Maka oleh karena itu tindakan / perbuatan Para Tergugat menguasai/menghuni/menempati obyek sengketa, harus dinyatakan tidak sah / tidak benar dan merupakan suatu perbuatan melawan hukum.
6. Bahwa demi untuk menjamin keselamatan harta peninggalan tersebut karena dikhawatirkan akan dipindahtangankan oleh para tergugat kepada pihak lain, dengan ini, Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Wonogiri agar meletakkan sita jaminan ( conservatoir beslag ) atas obyek sengketa tersebut diatas .
Berdasarakan hal- hal tersebut diatas, kami mohon kepada Yang Terhormat Ketua Pengadilan Negeri Surakarta berkenan memanggil, memeriksa pihak-pihak yang bersangkutan, serta memberikan / menjatuhkan putusan sebagai berikut :

PRIMAIR :
1. Menerima dan mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya.

2. Menyatakan menurut hukum, Bapak MADERI dan SALLIYEM telah meninggal dunia dan mempunyai seorang anak laki- laki kandung yaitu MUYATNO.

3. Menyatakan menurut hukum MUYATNO. Adalah ahli waris Bapak MADERI dan SALLIYEM

4. Menyatakan menurut hukum tindakan Para Tergugat menguasai, menghak-i, dan menghuni atau menempati obyek sengeta adalah tidak benar dan tidak sah dan beritikad tidak baik serta merupakan perbuatan melawan hukum.

5. Menyatakan menurut hukum, harta peninggalan / harta warisan milik Bapak MADERI dan SALLIYEM yang berupa tanah dan bangunan rumah (Obyek Sengketa) hingga saat ini masih utuh dan belum pernah dibagi waris kepada siapapun.

6. Menghukum para Tergugat untuk menyerahkan obyek sengketa yang menjadi hak Penggugat tanpa syarat apapun.

7. Menyatakan menurut hukum, apabila terbit segala macam bentuk surat / akta tentang perpindahan hak atas tanah dan rumah obyek sengketa tersebut, dengan segala akibatnya adalah cacat hukum, tidak sah, dan tidak berkekuatan hukum / batal demi hukum.

8. Menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) pertahun kepada Penggugat, terhitung mulai Bapak MADERI meninggal dunia.
9. Menghukum Para Tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 100.000,00 (dua ratus ribu rupiah) perhari kepada Penggugat atas keterlambatan menyerahkan rumah dan tanah obyek sengketa tersebut kepada Penggugat terhitung sejak putusan perkara ini berkekuatan hukum tetap.
10. Menyatakan menurut hukum, putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum lain, yakni Verset, Banding dan Kasasi.
11. Menghukum dan memerintahkan kepada Para Tergugat, untuk membayar segala / semua biaya perkara yang timbul dalam perkara ini .

S U B S I D A I R :

– Mengadili dan memberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan hukum dan keadilan.

Demikian gugatan yang dapat kami ajukan, semoga dapat terkabulkan dan atas terkabulnya gugatan ini kami ucapkan banyak terima kasih.

Hormat Saya
Kuasa Hukum Penggugat

KHARISMA RATUPRIMA SEMADARIA ,S.H.

Published in: on Juni 17, 2010 at 05:07  Tinggalkan sebuah Komentar  

HUBUNGAN KRIMINALITAS DENGAN BERBAGAI GEJALA DI MASYARAKAT DAN KRIMINALITAS SEBAGAI HABBIT DAN PROFESSIONAL

HUBUNGAN KRIMINALITAS DENGAN BERBAGAI GEJALA DI MASYARAKAT
DAN KRIMINALITAS SEBAGAI HABBIT DAN PROFESSIONAL
Untuk memenuhi nilai tugas Kriminologi

Disusun oleh ;
Kharisma Ratuprima Semadaria
E 0008052
Kriminologi Kelas A

Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
2010
KATA PENGANTAR
Kriminologi merupakan salah satu cabang ilmu Hukum Pidana yang mempelajari keseluruhan ilmu yang berhubungan dengan kejahatan sebagai gejala sosial, yang ruang lingkupnya meliputi perundang-undangan, pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan, pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan itu terkait pula dengan pelanggarannnya.
Di dalam Kriminologi, terdapat beberapa sub bab yang dipelajari, diantaranya adalah Kriminalitas sebagai Habbit dan Professional dan Hubungan Kriminalitas dengan Berbagai Gejala di Masyarakat. Dalam makalah ini kedua sub bab tersebutlah yang akan dibahas. Sebagai bentuk pemenuhan tugas akhir Mata Kuliah Kriminologi yang diampu oleh Bapak Sabar Slamet.
Tak lupa saya mengucapkan banyak syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah melancarkan segala proses dalam pembuatan makalah ini, selain itu banyak terimakasih kepada para pihak, orang tua saya Drs. Walkodri, MRS. M.Si dan Siti Rohayati, kakak saya Lenni Yuliaty Semadar dan Aroma Nur Septiani Semadar, adik saya Amelia Meidy Putri Ayu Semadaria, spesial saya Guruh Triadiyoga Charismaputra dan sahabat-sahabat saya Agnane Mahardika Putri, Asri Dwi Utami, Ratna Widianing Putri, Rizki Vina Yurinta dan Yanita Suci Asmarani yang telah memberikan banyak support sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Saya meminta kritik dan saran kepada para pembaca agar dalam makalah maupun penulisan saya yang berikutnya dapat lebih baik lagi. Demikianlah semoga makalah saya ini dapat bermanfaat untuk para pembaca.

Surakarta, 11 juni 2010

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………….…………………… ii
DAFTAR ISI…………………………………..…………….…………………………. iii
PENDAHULUAN…………………………………………….………………………… 1
PEMBAHASAN MATERI…………………………………………….……………….. 2
A. Hubungan Kriminalitas dengan Berbagai Gejala di Masyarakat…………… 2
a. Kriminalitas dan jenis kelamin…………………………………….. 2
b. Kriminalitas dan cacat tubuh………………………………………. 3
c. Keluarga dan hubungan keluarga…………………………………… 4
d. Kriminalitas dan umur……………………………………………… 5
e. Residivis……………………………………………………………. 5
f. Keadaan ekonomi, lapangan kerja dan rekreasi…………………… 5
g. Rekreasi…………………………………………………………….. 6
B. Kriminalitas sebagai Habbit dan Professional……………………………… 6
a. Gerombolan………………………………………………………… 7
b. Pelacuran…………………………………………………………… 8
PENUTUP……………………………………………………………………………… 9
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….. 10

I. PENDAHULUAN
Setelah membaca makalah ini pembaca diharapkan dapat memahami bahwa dapat dipikirkan adanya korelasi atau hubungan antara kriminalitas dengan fenomena atau gejala tertentu dan memahami bahwa korelasi yang dipikirkan tersebut harus dijelaskan dan memiliki pendirian bahwa masih terdapat variable-variabel lain yang mungkin belum diperhitungkan. Menjelaskan korelasi antara kriminalitas dengan fenomena tertentu yang terdapat di dalam diri pelaku dan luar pelaku, memberikan ulasan tentang gejala-gejala lain yang mungkin ada korelasinya dengan kriminalitas dengan mendasarkan pada asumsi logis.
Selain itu memahami bahwa ada hubungan timbal balik antara profesi dan kriminalitas dan juga memahami terbentuknya organisasi-organisasi kriminal. Menejelaskan perbedaan antara profesional kriminal dan habitual kriminal, menjelaskan terbentuknya profesionalisme dalam kejahatan, menjelaskan tentang penyebab timbulnya prostitusi, membedakan tanggapan masyarakat terhadap prostitusi dan pelaku kejahatan lainnya.

II. PEMBAHASAN MATERI
C. Hubungan Kriminalitas dengan Berbagai Gejala di Masyarakat
a. Kriminalitas dan jenis kelamin
Berbagai Negara pada tahun 1930-an menunjukkan prosentase wanita yang dijatuhi hukuman pidana berkisar antara 5-12% dan di beberapa Negara lain yang tinggi prosentasenya berada diantara 15-25,5%. Untuk Indonesia dapat dilihat pada statistic narapidana dan tahanan tahun 1971-1976 menunjuk angka 2-3%. Angka tersebut merupakan keseluruhan, dan kalu diperinci ke dalam bermacam-macam delik tertentu, mungkin terrdapat angka yang cukup tinggi pada wanita karena sifat khusus dari deliknya, misalnya abortus.
Telah banyak penjelasan mengenai kenyataan ini diberikan, dan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori :
1. Sebenarnya kriminalitas yang dilakukan oleh wanita lenih tinggi dari yang ada
Nilai angka statistik yang dikemukakan HURWITZ bahwa prostitusi harus pula dihitung sebagai kriminalitas, dengan demikian maka angka kriminalitas wanita pasti akan meningkat, tetapi kiranya hal ini tidak adil kalau tidak juga mengikutsertakan pria yang terlibat. Mengapa pula hanya WTS (wanita tuna susila) yang harus dituntu tanpa melibatkan PTSnya (pria tuna susila).
2. Kondisi lingkungan bagi wanita ditinjau dari segi kriminologi lebih menguntungkan daripada kondisi bagi pria
Perkawinan merupakan faktor anti irinogen, yang menjadi perdebatan para ahli dan juga wanita dibandingka pria, angka partisipasinya dalam masyarakat lebih rendah.
3. Sifat wanita sendiri membawa pengaruh rendahnya angka kriminalitas
Faktor fisik yang lemah kurang cocok untuk delik-delik agresi, kecuali delik agresi yang dilakukan dengan kata-kata, senjata, peracunan dan sebagainya. Faktor psikis menurut HEYMANS wanita mempunyai variasi yang lebih sempit dalam hal ciri-ciri psikis daripada pria, sehingga baik pada sisi ekstern dari variasi tersebut yang baik maupun buruk jarang terdapat pada wanita.
b. Kriminalitas dan cacat tubuh
Mengenai cacat tubuh ini dapat dibedakan antara yang diderita sejak kelahirannya (walaupun bukan sesuatu yang diwarisi) dan yang diperoleh dalam perjalanan hidupnya, dan yang diperoleh karena pengaruh luar, seperti kecelakaan dan sebagainya.
Dengan demikian, maka angka statistik yang tercatat sulit untuk dapat dipercaya bilamana kita hendak meneliti korelasi antara kriminalitas dengan cacat tubuh itu. Tetapi walaupun demikian berdasarkan studi kasus dan studi secara mendalam dapat pula diperoleh gambaran untuk hal itu. Ternyata seringkali cacat tubuh itu berdampingan dengan penyimpangan psikis. Mungkin ini sebagai akibat dari faktor bakat, tetapi mungkin juga terjadi justru karena pengaruh cacat tubuh maka timbul perubahan psikis.
Cacat tubuh yang mungkin merupakan faktor kriminogen antara lain :
1. Wajah
Penderitaan ini mungkin menimbulkan delik-delik ekonomis, dan khusus untuk pria delik seksual
Karena wajah jelek maka kesempatan untuk memilih pekerjaan menjadi lebih sempit. VON HENTIG mengatakan khususnya untuk wanita, maka karena wajah yang buruk, diperlukan lebih banyak uang untuk mempercantik diri yang dapat mengarah kepada delik ekonomis. Karena wajah jelek, maka tidak dapat menarik lawan jenisnya, karena wajah buruk dan mendapat hinaan atau tolakan, bisa menimbulkan delik seksual.
2. Tuli
Untuk orang bisu tuli dapat diperkirakan bahwa pada awalnya mengurangi kesempatan timbulnya kriminalitas, yaitu pada waktu masih kecil dan disembunyikan oleh keluarganya, tetapi kemudian meningkatkan angka kriminalitas setelah dewasa.
3. Buta
Walaupun kemungkinan dorongan delik agresi besar, yaitu sebagai akibat rasa tersinggung dan sebagainya, tetapi pelaksanaannya menjumpai kesulitan. Untuk orang buta ini “kejahatan” yang dilakukan adalah pengemisan.

c. Keluarga dan hubungan keluarga
1. Situasi keluarga
Keluarga merupakan kelompok terkecil dan yang paling intensif dalam membentuk kebiasaan. Orang tua merupakan kekuasaan yang besar sebagai sarana untuk memaksakan perilaku koniormistis bagi anak-anaknya baik yang masih kecil maupun para remaja, sebelum memisahkan diri sebagai keluarga sendiri. Pengaruh yang diterapkan di dalam keluarga adalah melalui : asosiasi, asimilasi, imitasi dan juga paksaan.
2. Besarnya keluarga
Anggota dari suatu keluarga yang besar lebih banyak kemungkinannya untuk melakukan kriminalitas :
– Keluarga yang besar pada umumnya menderita tekanan ekonomi yang lebih besar daripada keluarga kecil
– Anak-anak kurang mendapatkan waktu untuk memperoleh perhatian dari orang tua
– Kenakalan anak dari keluarga besar tidak banyak perhatian baik orang tuanya maupun masyarakat sekelilingnya
– Kemungkinan untuk berkonflik dengan lingkungan tetangganya lebih besar, demikian pula orang tuanya. Kenakalan seorang anak terhadap anak tetangganya dapat menimbulkan konflik antar tetangga.
Menurut NOACH, keluarga besar, baik untuk orang tua maupun anak-anak merupakan faktor kriminogen. Tetapi anak tunggal mempunyai kemungkinan lebih tinggi untuk menjadi kriminal.
– Menurut perbandingan keluarga yang besar lebih banyak terdapat pada golongan rendah daripada golongan atas
– Pada golongan bawah, keluarga yang besar belum tentu merupakan hal yang memberatkan secara ekonomis
– Karena hubungan masyarakat gotong royong yang kuat
– Konflik-konflik antar tetangga sebagai akibat kenakalan anak juga kurang

d. Kriminalitas dan umur
Pembagian umur berdasarkan angka tahun kiranya kurang tepat, karena pertambahan tidak selalu sama dengan kedewasaan lebih baik kalau pembagian itu berdasarkan stadium dalam kehidupan :
– Masa kanak-kanak, masa remaja, tahun-tahun pertama sebagai orang dewasa
– Masa dewas penuh, dan masa usia lanjut

e. Residivis
Dapat diperkirakan bahwa mereka yang baru mulai untuk pertama kali menjadi kriminal pada usia dewasa, kemungkinan-kemungkinannya menjadi residivis lebih kecil, karena :
– Waktu untuk melakukan kmbali kejahatan atau menjadi residivis relatif pendek
– Pola watak pada masa dewasa telah mantap
– Kriminalitas yang dilakukan dan diketahui orang tidak jarang hanya merupakan masalah kondisi yang kebetulan, dan bukannya kondisi yang berulang
f. Keadaan ekonomi, lapangan kerja dan rekreasi
1. Perubahan besar dalam hal kemakmuran
– Pada individu
– Pada kelompok
2. Kesenjangan kemakmuran
– Pengangguran merupakan salah satu gejala krisis yang dapat meningkatkan kriminalitas
– Pengangguran itu walaupun diperlunak dengan adanya dana bantuan dari pemerintah di berbagai Negara, menimbulkan demoralisasi di kalangan pekerja dan keluarganya
– Bagi para penganggur terasa adanya perbedaan yang menyolok dengan mereka yang kebetulan masih bekerja
3. Lapangan kerja
– Pemilihan lapangan kerja
– Norma lapangan kerja
– Kesempatan yang terdapat dalam lapangan kerja, dibedakan menjadi dua hal :
1) Keterampilan yang diperoleh dalam lapangan kerja memudahkan dilakukannya tindak pidana
2) Lingkungan kerja itu sendiri memberikan kesempatan yang memudahkan tindak pidana
g. Rekreasi
Untuk sepintas terasa agak ganjil, jika rekreasi dikatakan dengan kriminalitas, tetapi kalu dipikirkan lebih mendalam, mungkin juga masalah rekreasi ini menjadi faktor anti-kriminogen dan juga sekaligus faktor kriminogen.
Di Indonesia tingginya kemungkinan kriminalitas yang dilakukan oleh anak tunggal disebabkan karena :
– Anak tunggal kebanyakan dimanjakan, dan orang tua sangat over protective
– Tiadanya saudara-saudara menyulitkan anak untuk menyesuaikan diri sebagai anggota dari suatu kelompok

B. Kriminalitas sebagai Habbit dan Professional

Dengan berpangkal tolak pada frekuensi, orang-orangnya dapat kita bagi menjadi:
1. Mereka yang tidak melakukan perbutan kriminal
2. Mereka yang hanya sekali melakukan perbuatan kriminal
3. Mereka yang lebih dari sekali mlakukan perbuatan kriminal
Dari ketiga kelompok pendirian itu, selanjutnya bab ini hanya akan membicarakan kelompok yang ketiga, yaitu yang disebut residivis.
SUTHERLAND mengatakan sebagai ciri dari penjahat professional adalah : secara teratur setiap hari melakukan persiapan dan pelaksanaan deliknya. Disamping itu SUTHERLAND mempersyaratkan : mereka harus memiliki kemampuan teknik untuk melakukan delik tersebut, memeliharanya dan meningkatkan kemampuan tersebut, juga ada keinginan untuk menjadi terpandang di dalam lingkungan pada delinkuen, serta kemampuan tekniknya ini.
Penjahat profesional adalah mereka yang kegiatannya meliputi mempersiapkan dan melaksanakan perbuatan jahatnya. Penjahat karena kebiasaan, disamping kegiatan mempersiapkan dan melaksanakan delik ini juga masih ada kegiatan lainnya.
Meskipun secara teoritis dapat dibuat pembedaan antara penjahat profesional dan penjahat kebiasaan, dalam praktek sangatlah sulit untuk dilakukan pemisahannya. Hanya dengan studi kasus dapat ditentukan apakah penuntutan dari tiap pelaku kejahatan bahwa ia mempunyai suatu pekerjaan atau melakukan kegiatan yang tidak kriminal secara teratur memang cocok dengan kenyataannya.
Untuk menjelaskan terjadinya pejahat kebiasaan dan penjahat profesional, kita harus kembali pada peristiwa yang terjadi sesudah dilakukannya perilaku kriminal oleh seorang di dalam kehidupannya. Dari situ dapat dibedakan :
1. Perilaku kriminal yang mengakibatkn reaksi dari lingkungannya dan ditujukan kepada pelakunya
Reaksi ini kebanyakan dapat menunjukkan tingkatan yang berada diantara sekedar celaan sampai pada ditolak oleh kelompoknya, walaupun tidak perlu harus terjadi bahwa disamping reaksi kelompok ini juga merupakan reaksi masyarakat dalam bentuk dibawa ke muka pengadilan.
2. Perilaku kriminal yang tidak menimbulkan reaksi semacam itu
Dengan tidak adanya reaksi , maka oleh si pelaku tidak mengetahui bahwa ia telah melakukan perbuatan yang dilarang, atau mendapatkan keyakianan bahwa kelompok ataupun masyarakatnya tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan normanya.
Disamping kelompok kriminal yang umum, masih ada beberapa lagi yang kriminalitasnya dilakukan di dalam satu atau beberapa daerah, yang terpenting diantaranya adalah ;
1. Gerombolan
Yang dimaksud disini adalah kelompok individu yang bertindak dalam ikatan yang terorganisasi, yang perbuatannya keluar secara relative di dalam ruang lingkup kejahatan dan perilaku. Dan gerombolan ini paling tidak merupakan gekala yang terbatas di dalam zaman modern ini atau terbatas pada satu atau beberapa Negara.
2. Pelacuran
Mengikuti pendapat NORWOOD EAST kita dapat memberikan batasan prostitusi itu sebagai ; hubungan seksual tanpa pilih-pilih dengan mendapatkan pembayaran, ini mengandung arti :
– Tanpa pilih-pilih
Individu yang sudah melacurkan diri hanya dalam hal yang ekstrim saja mempunyai langganan tetap
– Hubungan seksual
Setiap perbuatan yang memuaskan nafsu seksual
– Dengan pembayaran
Biasanya pembayaran material dan bentuk uang

III. PENUTUP
Hampir separo dari buku karangan NOACH “criminologie” memuat hubungan atau korelasi antara kriminalitas dengan berbagai gejala, dalam arti status, keadaan atau peristiwa tertentu.
Di dalam bab Kriminalitas sebagai Habbit dan Professional, kita membicarakan klasifikasi pelaku perbuatan pidana, telah kita jumapai ada beberapa pembagian yang bertitik tolak pada frekuensi dilakukanny delik oleh seseorang. Komisi Presiden untuk penegakan Hukm dan Peradilan di Amerika Serikat mengakui bahwa : kejahatan professional tidak mungkin ada kecuali ada hubungan dengan badan-badan yang resmi, yaitu “fence” dan “fix”.

DAFTAR PUSTAKA

Norwood. 1949. Socirty and the criminal. London
Soemitro. 1989. Krimonologi. Surakarta : Sebelas Maret University Press
Turkus. 1951. New York : Murder Inc
Bahan perkuliahan dari Bapak sabar Slamet
www. Google.com
www. Wikipedia.com

Published in: on Juni 17, 2010 at 05:03  Comments (1)  

TUGAS, FUNGSI dan TUJUAN HUKUM

TUGAS, FUNGSI dan TUJUAN HUKUM
Disusun untuk Memenuhi Tugas Pengantar Ilmu Hukum

Disusun oleh :
Agnane Mahardika Putri / E0008004
Kharisma Ratuprima Semadaria / E0008052
Dhina Christy H / E0008138
Dwi Didik Arifin / E0008140
Gesti Kadhesta / E0008348

Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
2008
A. TUGAS HUKUM DALAM MASYARAKAT
1. Seperti kita ketahui :
a. Hasil penelitian para sosilog dan antropolog membuktikan bahwa pada masyarakat kuno dan bagaimanapun primitifnya juga terdapat hokum.
b. Selama ada masyarakat, masyarakat besar maupun kecil, selalu diikuti oleh hokum.
c. Hukum terdapat dimana saja/di seluruh dunia selama ada manusia bermasyarakat: hanya bentuk daripada hukum itu yang berbeda-beda tergantung pada tingkat peradabannya.
d. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa hokum itu berperan sekali dalam kehidupan masyarakat.
2. Mengenai manusia sebagai makhluk , Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah “zoon politicon”, -makhluk social atau makhluk bermasyarakat-. Oleh karenanya tiap anggotamasyarakat mempumyai hubungan antara satu dengan yang lain. Tiap hubungan tentu menimbulkan hak dan kewajiban.
3. Selain itu masing-masing anggota masyarakat tentu mempunyai hubungan kepentingan. Kepentingan ini berbeda dan tidak jarang saling berlawanan
4. demikian pula keadaan kehidupan masyarakat di masa kini. Manusia selalu melakukan perbuatan hokum (rechtshandeling).
5. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak manusia itu dilahirkan, ia langsung menjadi pendukung hak dan segala benda yang ada di sekelilingnya menjadi objek daripada hak.
6. Selanjutnya ikatan hokum menghubungkan manusia dengan manusia yang lain dan menghubungkan manusia dengan benda-benda di sekelilingnya.
7. Mengenai peranan hukum yang tak terhingga ragamnya itu dapat dikemukakan berbagai contoh dalam kehidupan manusia sehari-hari, sbb :
a. Dengan keluarga
b. Dalam pekerjaan (hubungan kerja)
c. Di dalam menjalankan pekerjan atau profesi
d. Hubungan dengan hak
e. Dalam perkembangan masyarakat
f. Dalam hubungan dengan ilmu lainnya
g. Dalam mempelajari hukum
h. Dalam penggunaan istilah hukum
B. FUNGSI HUKUM
1. Pendahuluan
Dari apa yang telah terurai diatas dapat disimpulkan bahawa, hukum selalu mengikuti serta melekat pada manusia bermasyarakat. Hukum mempunyai fungsi : menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. Dalam perkembangan masyarakat fungsi hukum terdiri dari :
a. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat
b. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin
c. Sebagai sarana penggerak pembangunan
d. Sebagai fungsi kritis
2. Fungsi-fungsi hukum tersebut dapat diuraikan sbb :
a. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat
Hukum sebagai norma merupakan petunjuk untuk kehidupan. Manusia dalam masyarakat, hukum menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk, hukum juga memberi petunjuk, sehingga segala sesuatunya berjalan tertib dan teratur. Begitu pula hukum dapat memaksa agar hukum itu ditaati anggota masyarakat.
b. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan social lahir batin
– Hukum mempunyai cirri memerintah dan melarang
– Hukum mempunyai sifat memaksa
– Hukum mempunyai daya yang mengikat fisik dan Psikologis
Kaena hukum mempunyai cirri, sifat dan daya mengikat, maka hukum dapat memberi keadilan ialah dapat menentukan siapa yang bersalah dan siapa yang benar.
c. Sebagai penggerak pembangunan
Daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau di daya gunakan untuk menggeraakkan pembangunan. Disini hukum dijadikanalat untuk membawa masyarakat kea rah yang lebih maju.
d. Fungsi kritis hukum
Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H dalam bukunya pengantar ilmu hukum, hal 155 mengatakan :
“Dewasa ini sedang berkembang suatu pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pemerintah (petugas) saja melainkan aparatur penegak hukum termasuk didalamnya”.
3. Syarat-syarat agar fungsi hukum dapat terlaksana dengan baik
Agar fungsi hukum terlaksana dengan baik, maka para penegak hukum dituntut kemapuannya untuk melaksanakan dan menerapkan hukum dengan baik, dengan seni yang dimiliki masing-masing petugas, misalnya :
– Menafsirkan hukum sesuai dengan keadilan dan psisi masing-masing
– Bila perlu diadakan penafsiran analogis penghalusan hukum atau memberi ungkapan a contrario
Disamping hal-hal tersebut diatas dibutuhkan kecakapan dan ketrampilan serta ketangkasan para penegak hukum dalam menerapkan hukum yang berlaku.
C. TUJUAN HUKUM
1. Dr. Wirjono Prodjodikoro. S.H
Dalam bukunya “ Perbuatan Melanggar Hukum”. Mengemukakan bahwa tujuan Hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat.
Ia mengatakan bahwa masing-masing anggota masyarakat mempunyai kepentingan yang beraneka ragam. Wujud dan jumlah kepentingannya tergantung pada wujud dan sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh para anggota masyarakat masing-masing.
Hawa nafsu masing-masing menimbulkan keinginan untuk mendapatkan kepuasan dalam hidupnya sehari-hari dan supaya segala kepentingannya terpelihara dengan sebaik-baiknya.
Untuk memenuhi keinginan-keinginan tersebut timbul berbagai usaha untuk mencapainya, yang mengakibatkan timbulnya bentrokan-bentrokan antara barbagai macam kepentingan anggota masyarakat. Akibat bentrokan tersebut masyarakat menjadi guncang dan keguncangan ini harus dihindari. Menghindarkan keguncangan dalam masyarakat inilah sebetulnya maksud daripada tujuan hukum, maka hukum menciptakan pelbagai hubungan tertentu dalam hubungan masyarakat.
2. Prof. Subekti, S.H.
Menurut Prof. Subekti SH keadilan berasal dari Tuhan YME dan setiap orang diberi kemampuan, kecakapan untuk meraba dan merasakan keadilan itu. Dan segala apa yang di dunia ini sudah semestinya menimbulkan dasar-dasar keadilan pada manusia.
Dengan demikian, hukum tidak hanya mencarikan keseimbangan antara pelbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain, akan tetapi juga untuk mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan tersebut dengan “Ketertiban“ atau “Kepastian Hukum“.
3. Prof. Mr. Dr. L.J. Apeldoorn.
Dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlanse Recht”, Apeldoorn menyatakan bahwa tujuan Hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil.
Untuk mencapai kedamaian Hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbanagn antara kepentingan yang saling bertentangan satu sama lain dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya. Pendapat Van Apeldoorn ini dapat dikatakan jalan tengah antara 2 teori tujuan hukum, Teori Etis dan Utilitis.
4. Aristoteles.
Dalam Bukunya “Rhetorica” mencetuskan teorinya bahwa tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi daripada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil.
Menurut teori ini buku mempunyai tugas suci dan luhur, ialah keadilan dengan memberikan tiap-tiap orang apa yang berhak dia terima yang memerlukan peraturan sendiri bagi tiap-tap kasus. Apabila ini dilaksanakan maka tidak akan ada habisnya. Oleh karenanya Hukum harus membuat apa yang dinamakan “Algemeene Regels”(Peratuaturan atau ketentuan-ketentyuan umum. Peraturan ini diperlukan oleh masyarakat teratur demi kepentingan kepastian Hukum, meskipun pad asewktu-waktu dadapat menimbulkan ketidak adilan.
5. Jeremy Bentham
Dalam Bukunya “Introduction to the morals and negismation”, ia mengatakan bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah pada orang. Pendapat ini dititikberatkan pada hal-hal yang berfaedah pada orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan soal keadilan. Disini kepastian melalui hukum bagi perorangan merupakan tujuan utama dari Hukum.
6. Mr. J.H.P. Bellefroid.
Bellefroid menggabungkan 2 pandangn ekstrim tersebut. Ia menggabungkan dalam bukunya “Inleiding tot de Rechts wetenshap in Nederland” bahwa isi hukum harus ditentukan menurut 2 asas, ialah asas keadilan dan faedah.
7. Prof. Mr. J van Kan.
Ia berpendapat bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia agar kepentingan itu tidak dapat diganggu. Disini jelaslah bahwa hukum bertugas untuk menjamin kepastian hukum di dalam masyarakat dan juga menjaga serta mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim sendiri. Tetapi, tiap perkara harus diselesaikan melalui proses pengadilan berdasrkan hukum yang berlaku.

Published in: on Juni 17, 2010 at 05:01  Comments (7)  

MASYARAKAT FLORES

MASYARAKAT FLORES
Disusun untuk Memenuhi Tugas Antropologi Budaya

Disusun oleh :
Kharisma Ratuprima Semadaria
E0008052
KELAS B

Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
2008
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kebudayaan merupakan suatu sistem. Menurut W.J.S. Purwodarminto yang dimaksud ialah sekelompok bagian-bagian ( alat-alat dan sebagainya ) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Kebudayaan dari setiap masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri dari unsur-unsur besar atau kecil yang merupakan bagian-bagian dari suatu kebulatan yang bersifat kesatuan. Masyarakat dan kebudayaan adalah suatu kesatuan tak terpisahkan. Setiap masyarakat menghasilkan kebudayaan dan setiap kebudayaan pasti ada di dalam masyarakat. Masyarakat dan kebudayaan merupakan dwitunggal yakni masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang tak berkebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya.
Sedangkan unsur-unsur pokok dari kebudayaan seperti yang dikemukakan C. Kluckhohn dalam bukunya Universal Categories of Culture menguraikan pandangan-pandangannya, antara lain :
a. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
b. Bahasa
c. Kesenian
d. Sistem kemasyarakatan
e. Sistem pengetahuan
f. Religi ( sistem kepercayaan )

Mengenai kebudayaan, Indonesia khususnya di bagian timur, membedakan orang Flores dengan Ambon, Tanimbar. Ternate atau Timor maupun Sumba, agak sulit kalau yang bersangkutan belum menyebutkan dari mana asal suku bangsanya. Secara fisik suku bangsa-suku bangsa ini memiliki ciri umum yang hampir sama. Tetapi secara etnis rnereka mempunyai perbedaan-perbedaan.
Dalam makalah ini, kita akan meninjau kehidupan masyarakat di pulau Flores, salah satu pulau dari gugusan kepulauan di Nusa Tenggara.
Berbicara tentang masyarakat Flores berarti meliputi juga masyrakat di pulau-¬pulau sekitarnya, yakni pulau Lembata, Adonara, Solor, dan Palue.
Ciri khas masyarakat Flores di perantauan lebih nampak pada kesamaan religi, karena sebagian besar penduduknya beragam katolik. Di pulau Flores terdapat berbagi macam suku bangsa. Masing-masing suku bangsa tersebut menunjukkan kekhasannya.
Selaln 1tu masih ada sub-sub suku bangsa yang lebih kecil, namun tetap menunjukkan kekhasan. Misalnya orang Muhan, orang Tana ai, orang Ende, dan juga orang-orang Wajo, Bugis, atau Makasar yang mendiami pulau-pulau di sebelah utara pulau Flores dan daerah pesisir.
Pada umumnya masyarakat pendatang seperti orang Makasar, Wajo, atau. Bugis tersebut memeluk agama Islam.

B. Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk :
1) Memenuhi tugas akhir mata kuliah Antropologi Budaya yang diampu oleh Ibu Andri
2) Tambahan pengetahuan bagi siapa saja yang ingin menimba ilmu dari. kehidupan di masyarakat Flores ini.
3) Sebagal refernsi bagi siapa saja dalam berbagai hal. Tidak menutup kemungkinan dari bidang ilmu yang lain.

BABII
PEMBAHASAN
a. Bahasa
Perbedaan suku bangsa di pulau Flores terutama ditandai dengan perbedaan bahasa di antara suku bangsa-suku bangsa tersebut. Perbedaannya bukan sekedar perbedaan dialek, tetapi hampir seluruh aspek bahasanya.
Bahasa-bahasa yang digunakan antara lain :
1. Bahasa Manggarai untuk suku bangsa Manggarai.
2. Bahasa Bajawa untuk suku bangsa Ngada
3. Bahasa Riung untuk suku bangsa Riung
4. Bahasa Lio, dengan beberapa dialek seperti dialek Ende, dialek Lise, Nggela dan lain-lain digunakan oleh suku bangsa Lio.
5. Bahasa Sikka untuk suku bangsa Sikka dan sebagian masyarakat kabupaten Flores Timur terutama suku Tana ai.
6. Bahasa Lamaholot untuk orang Larantuka, Lembata, Adonara, dan Solor.
7. Bahasa Melayu untuk orang Larantuka ( dialek Melayu Larantuka )
8. Bahasa Nage Keo untuk suku bangsa Nage Keo.
9. Bahasa Palue untuk suku bangsa Palue.
10. Bahasa-bahasa lain seperti bahasa Bugis, Wajo, atau Makasar yang dipakai di pulau-pulau di sebelah utara pulau Flores dan daerah pesisir.
b. Pola Perkampungan
Perkampungan suku bangsa Nage, Keo, Lio, Sikka dan di Flores Timur biasanya dibuat diatas bukit. Nama-nama perkampungan sering diawali dengan nama keadaan tempat, misalnya Wolo atau Keli yang berarti bukit. Juga Watu yang berarti batu. Jika perkampungan terletak di pinggir sungai, maka nama tempat sering diawali dengan kata ” wai ” yang berarti sungai atau Nanga, yang berarti muara. Perkampungan di pantai erring diawali dengan nama awal ” mau” yang berarti pantai.
Banyak perkampungan yang letaknya di bukit-bukit, jauh dari sumber air. Orang harus menempuh jarak sampai lebih dari sepuluh km untuk mengambil air minum. Pola perkampungan seperti ini sering dikaitkan dengan kemungkinan perang antar kampong pads jaman dahulu.
c. Rumah
Rumah khas di Flores adalah rumah panggung beratap alang-alang atau ijuk. Pada jaman dahulu, rumah bukan hanya ditempati oleh satu keluarga batih saja, tetapi oleh beberapa batih yang masih dalam satu klen. Orang Manggarai, Ngada dan Nage Keo sering melengkapi rumah mereka dengan hiasan tanduk kerbau yang juga merupakan lambang status soslalnya. Makin tinggi status sosialnya makin banyak tanduk kerbau yang dipajang di depan rumah mereka. Rumah¬-rumah khas di Flores akhir-akhir ini berangsur-angsur hilang diganti dengan rumah-rumah tembok yang sesuai dengan keadaan jaman sekarang.

d. Sistem Kekerabatan
Hampir semua suku bangsa di Flores menganut system patrilineal. Yang menyambung silsilah adalah garis keturunan ayah, sedang dari pihak ibu hanya terdapat hubungan famili atau keluarga terdekat, bukan hubungan yang terkait dengan adat istiadat.
1. Pembagian warisan
Pada umumnya suku bangsa-suku bangsa di Flores menganut system patrilineal. Anak laki-laki mendapatkan harta warisan orang tuanya, kecuali suku bangsa Ngada. Orang Ngada mengenal system matrilineal dalam hal pembagian warisan. Seorang anak laki-laki suku bangsa Ngada akan bangga apabila ibunya mempunyai tanah atau harta yang banyak. Orang Sikka menganut system patrilineal dengan prioritas anak sulung. Maka anak sulung selalu mendapatkan bagian yang lebih banyak dari yang lainnya. Pada jaman dahulu, di Sikka selaku sebuah system pembagian warisan menurut garis paman. Sebagian anak-anak ayah tidak langsung menjadi milik orang tuanya, tetapi menjadi milik pamannya.
Pembagian warisan di pulau Flores terutama meliputi tanah dan perhiasan. Orang Sikka, Larantuka,Soor, Adonara. dan Lembata jugs membagi warisan berupa gading (gajah). Sedangkan orang Lio, Ngada, Manggarai, dan Nage Keo selain membagi tanah juga hewan temak, seperti kuda, kerbau dan lain-lain. Anak perempuan dapat memperoleh harta warisan, jika tidak mempunyai saudara laki¬-laki. Kelak harta warisan ini dilelola oleh suaminya dan kemudian diwariskan kepada saudara laki-lakinya.
2. Perkawinan
Bertunagan bagi orang Flores berarti juga menyelesaikan segala macam kewajiban yang harus dipenuhi calon suami. Setelah meminangdidakan permufakatan tentang beberapa mas kawin yang harus dipenuhi calon suami. Istilah umum mas kawin di Flores adalah “Belis” yang bagi beberapa suku memiliki kesamaan tetapi ada juga perbedaannya. Beberapa wujud “Belis” :
• Orang Manggarai dan Riung :kuda, kerbau, emas atau uang.
• Orang Ngada, Liodan Nage Keo : babi,kerbau, kuda, emas, dan uang. Orang Sikkan : kuda, gading,emas dan uang.
• Orang Larantuka dan pulau di sekitamya : gading, emas, uang dan perhiasan lainnya.
Upacara perkawinan sendin tidak lepas dari upacara keagamaan sesuai dengan keyakinan masing-masing yang menjalankan ritual pernikahan.
Kemampuan ekonomi calon suami menjadi tolak ukur kemampuan berumah tangga. Maka tidak jarang upacara perkawinan ditunda karena calon suami belum siap.
Beberapa larangan yang harus dipatuhi masyarakat Flores dalam masalah perkawinan lebih dititik beratkan pada larangan agama katolik, misalnya tidak boleh kawin dengan saudara terdekat, baik dari pihak ayah maupun ibu. Jaman dahulu anak paman (anak saudara ibu) masih boleh dikawinkan dengan anak lelaki ibu. Tetapi hal itu berangsur-angsur hilang sejalan dengan ajaran agama. Sekarang berlaku Kindred. Kemudian contoh yang lain, tidak boleh kawin lebih dari satu kali, kecuali isteri atau suaminya sudah meninggal dunia.
Beberapa masalah perkawinan di Flores :
a) Calonsuami yang tidak berhasil memenuhi semua tuntutan belis dari pihak wanita kadang-kadang melakukan kawin lari.
b) Jika kawin lebih dari satu, maka anak yang dilahirkan tetap dianggap oleh masyarakat sebagai anak haram. Kepada anak tersebut sang ayah wajib menyerahkan sebidang tanah.
c) Bila perkawinan tidak direstui pihak orang tua , terutama pihak wanita, maka dalam jangka waktu tertentu mereka harus kembali ke orang tua dengan membawa belis. Tetapi hal itu bukan kewajiban mutlak.
d) Pada umumnya orang beranggapan bahwa belis merupakan salah satu syarat perkawinan yang rumit, boros, dan tidak membangun. Usaha untuk mengurangi atau menghilangkan sulit karena terbentur pads adat-istiadat yang sudah mendarah daging.
Seorang wanita yang telah kawin di pulau Flores tidak selamanya masuk ke dalam klen suami. Beberapa suku bangsa seperti orang Manggarai, Sikka dan Lio mengenal virilokal yakni isteri pindah ke tempat tinggal suami.Jika belis belum dilunaskan, maka berlaku system Uxorilokal atau dikenal dengan istilah “kawin masuk” (suami tinggal bersama keluarga isteri)
e. Agama ( religi )
Sebagian besar masyarakat Flores beragama Katolik yang berkembang di pulau Flores sejak abad ke-16. Penyebarannya adalah melaui misionaris-misionaris yang berasal dari Portugal.
Meskipun demikian, unsur keyakinan asli masih mewarnai kehidupan beragama. Orang Flores yakin bahwa sesudah manusia meninggal masih melanjutkan kehidupannya, di alam lain yang mereka kenal dengan “alam Nitu”. Pada alam ini segala sesuatunya serba terbalik. Ketika di bumi siang, maka disana malam atau sebaliknya. Segala wadah (alai-alai makan dan minuet) selalu digunakan dengan posisi terbalik.
Manusia akan mengalami kematian sampai tujuh kali. Pada setiap kali kematian, ia akan mencapai tingkat yang lebih rendah, sampai pads tingkat ke tujuh, ia akan diuji dengan melalui sebuah titian. Jika ia berhasil melaluinya, maka ia akan selamat. Tetapi bila tidak berhasil ia akan jatuh pada kuali besar yang berisi air yang mendidih.
Orang Flores mengenal upacara kematian dengan berbagai macam bentuk dan cara. Terutama selamatan setelah meninggal dunia. Potong babi pada saat orang meninggal dunia merupakan suatu keharusan. Kemudian dilanjutkan selamatan sesudah hari ke-3 atau 4 hari minggu ke-3 (sumana telu), minggu ke-7 (sumana tujuh ). Penguburan orang meninggal biasanya dilakukan dengan peti berpakaian lengkap. Bahkan kadang-kadang orang yang meninggal dilengkapi dengan perbekalan lain terutama pakaian yang disobek sedikit bagian pinggirnya.
Keyakinan akan Yang Maha Kuasa dikenal dengan beberapa nama atau bentuk. Misalnya orang Manggarai menyebutnya dengan Mori Kareng, orang Sikka dengan Lero Wulan, orang Lio dengan Dua Nggae, dan lain-lain.
Percaya pada tahayul, seperti adanya hantu, peri, roh, jahat, roh orang-orang meninggal yang gentayangan, magi, doti (semacam racun dari jarak jauh), tempat-tempat keramat dan lain-lain, masih mewarnai masyarakat Flores hingga saat ini.
Selain agama Katolik , terdapat pula agama-agama yang lain, terutama Islam. Agam Islam terutama dianut oleh masyarakat pesisir dan sebagian kecil suku bangsa Riung dan orang Ende. Kebanyakan penduduk yang beragama Islam adalah penduduk yang berasal dari Makasar, Bugis, Wajo, Bone atau Bima.

f. Mata Pencaharian
Didaerah bagian barat dan tengah pulau Flores masih dijumpai cara bercocok tanam di ladang.Pertanian dengan irigasi yang baik dimiliki oleh orang Manggarai dan Ngada dan sebagian orang Lio. Sementara orang Sikka lebih mengandalkan pada tanaman kelapa sebagai tanaman perdagangan.
Di Palue dan beberapa daerah pedalaman lain, masih terdapat masyarakat yang pandai berburu dengan busur dan panah yang khas.
Pemburu ikan paus terdapat di Halmahera, pulau Lembata. Mereka menggunakan perahu tradisional bernama “paledang”.
Masyarakat di Flores Timur, seperti orang Adonara, Solor, Lomblem, Larantuka dan jugs sebagian orang Sikka terkenal sebagai masyarakat perantau. Tujuan perantauan mereka terut bahkan ada yang bersifat musiman. Setelah satu atau dua tahun mereka kembali berkumpul dengan isteri dan anaknya kemudian kembali ke perantauan.

g. Kerajinan Rakyat
Seni ikat dan tenun merupakan kerajinan utama kaum wanita di pulau Flores. Orang Manggarai menenun kain songket. Orang Ende-Lio, orang Sikka, Larantukadan Adonara menenun kain sarung dengan berbagai macam corak seni ikat. Sebelum tekstil dan pewarna lain dikenal, mereka menggunakan nila dan mengkudu sebagai bahan pewarna pokok.

h. Kesenian
Berbagai bentuk “tandak” atau tarian misal dalam bentuk setengah lingkaran atau lingkaran penuh merupakan tarian pergaulan umum di pulau Flores. Orang Lio menyebutnya Gawi, orang Sikka mengatakan Togo, dan orang Larantuka serta Adonara mengenalnya dalam bentuk tarian Dolo-dolo. Tarian yang lain adalah Caci di Manggarai, yaitu semacam tari adu ketangkasan, jugs tari Bebing dan Hegong dari Sikka.
Alat musik tradisional selalu mempunyai unsur Gong dan gendang. Khusus orang Larantuka dan Adonara mengenal Gambus. Orang Sikka mempunyai Letor (semacam kolintang) dan Hitek (semacam siter) yang terbuat dari bambu.

BABIII
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah disampaikan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Ciri khas masyarakat Flores di perantauan lebih nampak pada kesamaan religi, karena sebagian besar penduduknya beragam katolik.
2. Perbedaan suku bangsa di pulau Flores terutama ditandai dengan perbedaan bahasa di antara suku bangsa-suku bangsa tersebut. Perbedaannya bukan sekedar perbedaan dialek, tetapi hampir seluruh aspek bahasanya.
3. Perkampungan diberi nama menurut nama keadaan tempat.
4. Rumah khas di Flores adalah rumah panggung beratap alang-alang atau ijuk.
5. Pada umumnya suku bangsa-suku bangsa di Flores menganut system patrilineal. Anak laki-laki mendapatkan harta warisan orang tuanya, kecuali suku bangsa Ngada.
6. Mata pencahariannya meliputi bidang pertanian, perdagangan, dll.
7. Kerajinan yang digeluti ialah seni ikat dan tenun.
8. Kesenian dengan alat musik yang berunsur gong dan gendang. Kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan yang ditarik secara umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Drs. Nursal Luth dan Drs. Daniel Fernandez. Sosiologi dan Antropologi II. Jakarta: PT. Galaxy Puspa Mega . 1989
http://www.google.com
http://www.wikipedia.com
Indra, Wahyuni. Makalah Enkulturasi Budaya. Yogyakarta:2003

Published in: on Juni 17, 2010 at 04:59  Tinggalkan sebuah Komentar