HUKUM ACARA PIDANA
( Analisis KELEBIHAN DAN KELEMAHAN
SISTEM PEMBUKTIAN NEGATIF atau Negative Wettelijk Theorie)
Disusun Guna Memenuhi Nilai Uji kompetensi dasar III
Disusun oleh :
Kharisma Ratuprima Semadaria (E0008052)
Yanita Suci Asmarani (E0008258)
Bayu Satria Setiadi (E0008307)
Bhirawa Dwi Saputra Fitriansyah (E0008308)
Tito Erlangga (E0008442)
HUKUM ACARA PIDANA KELAS B
Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan adalah merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal ini pun HAM (hak asasi manusia) dipertaruhkan, bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar, untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang hakiki atau yang sebenar-benarnya, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal, atau kebenaran yang terungkap di muka siding saja. Mencari kebenaran materiil merupakan sesuatu yang tidaklah mudah. Alat-alat bukti yang tersedia menurut undang-undang sangat relatif. Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relatif, kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa akan berbeda-beda. Pembuktian menempati titik sentral dalam hukum acara pidana. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan menempatkan kebenaran materiil dan bukanlah untuk mencari kesalahan orang lain.
Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutuskan perkara. Dalam hal ini yang harus dibuktikan ialah kejadian konkret, dengan adanya pembuktian itu, maka hakim meskipun ia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang sebenarnya terjadi, sehingga memperoleh keyakinan tentang hal tersebut.
Adapun jenis- jenis sistem pembuktian menurut KUHP adalah:
1. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif ( Positif Wettwlijks theorie ).
Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal bebarapa sistem atau teori pembuktian. Pembuktian yang didasarkan selalu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif.
Dalam teori ini undang-undang menentukan alat bukti yang dipakai oleh hakim cara bagaimana hakim dapat mempergunakannya, asal alat-alat bukti itu telah di pakai secara yang ditentukan oleh undang-undang, maka hakim harus dan berwenang untuk menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara yang diperiksanya. Walaupun barangkali hakim sendiri belum begitu yakin atas kebenaran putusannya itu.
Sebaliknya bila tidak dipenuhi persyaratan tentang cara-cara mempergunakan alat-alat bukti itu sebagimana ditetapkan undang-undang bahwa putusan itu harus berbunyi tentang sesuatu yang tidak dapat dibuktikan tersebut. Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, dan teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi karena teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-undang
2. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu.
Didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan.
Bertolak pengkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yag didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.
3. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis ( Laconvivtion Raisonnee ).
Sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu ( la conviction raisonnee ). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
Teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (Vrije bewijs theorie ).atau yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Pertama, yang disebut diatas, yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis ( conviction raisonnee ) dan yang kedua, ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negative ( negatief bewijs theorie ).
Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin di pidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah
4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif ( negative wettelijk ).
Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu.
Dalam pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : “ hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Atas dasar ketentuan pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negative. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang ( minimal dua alat bukti ) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.
Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk, istilah ini berarti : wettelijk, berdasarkan undang-undang sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.
Dalam sistem pembuktian yang negative alat-alat bukti limitatief di tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang.
Bedasarkan latar belakang di atas, maka dari itu kami penulis tertarik untuk membahas salah satu sistem pembuktian yang ada yaitu negatief wettelijk.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah kelebihan dan kekurangan sistem pembuktian negative ( negatief wettelijk) ?
2. Solusi apa yang dapat digunakan untuk menutupi kelemahan dari sistem pembuktian negative atau negative wettelijk ?
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam system menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan system undang-undang secara negative-sebagai intinya yang dirumuskan dalam pasal 183, dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jiak memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana
b. Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana
1. Kelebihan dan kekurangan sistem pembuktian negative ( negatief wettelijk )
Dalam sistem pembuktian negative ( negatief wettelijk ) dalam hal membutikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini harus berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Sehingga dalam pembuktian benar-benar mencari kebenaran yang hakiki, jadi sangat sedikit kemungkinan terjadinya salah putusan atau penerapan hukum yang digunakan.
Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Sehingga akan memperlambat waktu dalam membuktikan bahkan memutuskan suatu perkara, karena dilain pihak pembuktian harus melalui penelitian. Tetapi dengan mencari kebenaran melalui penelitian tersebut, maka kebenaran yang terungkap benar-benar dapat dipertanggung jawabkan, dan merupakan kebenaran yang hakiki.
Dalam pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : “ hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Atas dasar ketentuan pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negative. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang ( minimal dua alat bukti ) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Dapat diartikan bahwa di dalam sistem pembuktian negatif ini hakim benar-benar berhati-hati dalam memutuskan suatu perkara. Sehingga memperkecil kemungkinan terjadi kesalahan dalam mengambil keputusan.
Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk, istilah ini berarti : wettelijk, berdasarkan undang-undang sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Disini peran hakim juga menetukan, padahal hakim juga sesama manusia yang mempunyai rasa subjektifitas yang tidak dapat di nafikkan adanya. Sangat disayangkan apabila hakim menjatuhkan putusan yang sangat subjektif yang dapat merugikan kepentingan orang lain.
Dalam sistem pembuktian yang negative alat-alat bukti limitatief di tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang.
Perpaduan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian keyakinan hakim belaka. Negatief wettelijk stelsel: “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut UU”.
Kemudian, terdapat beberapa doktrin, yaitu diantaranya Martiman Prodjohamidjojo wettelijk, sesuai dgn alat-alat bukti yang sah yang ditetapkan oleh undang; negatief, oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang saja belum cukup untuk membuat hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim.
Mr. Kwee Oen Goan berpendapat bahwa Hakim harus memakai alat-alat bukti yang sah, ditentukan oleh UU. Apabila Hakim tidak jakin tentang kesalahan terdakwa, maka ia tidak wajib menjatuhkan hukuman.
2. Solusi yang dapat kami ajukan untuk menutupi atau bahkan menghilangkan kelemahan dari sistem pembuktian negatif
Menambahkan pasal di dalam KUHP seperti yang telah dilakukan di dalam UU no 1 Tahun 1965 tentang penodaan agama, dengan ketentuan menghilangkan kemungkinan subjektifitas hakim yang timbul dari kewenangan yang telah diberikan, supaya, hakim lebih mempunyai pedoman yang kuat dalam menentukan alat bukti dan memutuskan suatu perkara, karena selama ini hanya berdasarkan pada UU saja.
Memperjelas dengan memberikan point-point yang jelas di dalam KUHP mengenai alat bukti yang boleh digunakan dan diajukan di dalam persidangan.
Mempertahankan kelebihan-kelebihan yang sudah ada di dalam sistem pembuktian negative atau ( negative wettelijk theorie ) untuk menjamin kejelasan hukum. Supaya masyarakat mendapat perlindungan hokum yang lebih nyata sebagai bentuk perhatian pemerintah teradap masyarakat dan atau warga Negara nya.
Ditentukan dengan jelas batasan mengenai waktu perkara tersebut dapat diproses. Yang dapat ditentukan dengan limitasi KUHP.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan mengenai pembuktian ini dapat disimpulkan bahwa pembuktian merupakan bagian yang sentral pada hukum acara pidana dimana melalui pembuktian ini akan diketahui keputusan apa yang akan diambil oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara. Dan dalam hal pembuktian terdapat beberapa teori yang di pakai seperti yang telah di jelaskan di atas.
Dan kami penulis pun akhirnya menetapkan untuk menulis makalah mengenai pembahasan sistem pembuktian negatif atau negatief bewijs theorie.
Dan setelah membahas mengenai kelebihan dan kelemahan sistem pembuktian negatif tersebut diatas maka kami penulis mengusulkan untuk menambahkan pasal di dalam KUHP yang sudah pernah terjadi penerapannya pada UU no 1 tahun 1965 tentang Ketentuan Penodaan Agama. Yang karena dipandang mempunyai kelemahan kami berani mengusulkan pendapat tersebut demi terciptanya hukum yang baik di Negara kita tercinta ini, Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : P.T. Alumni
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2008. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Pettanase, Syarifudim. 2000. Hukum Acara Pidana, Indramayu : Universitas Sriwijaya.